JOIN GRUP WHATSAPP: Pusat Studi Islam

Kajian

Fikih pada Masa Shahabat

Amalan Abu Bakar

Para shahabat telah tersebar di berbagai negeri. Masing-masing ditokohkan dan diikuti di berbagai wilayah. Banyak peristiwa terjadi. Banyak permasalahan bermunculan. Mereka pun dimintai fatwa dan memberikan fatwa dengan apa yang mereka hafal dan simpulkan dari apa yang mereka ketahui. Jika tidak mendapatkan jawaban yang tepat dari hafalan maupun istinbath mereka, maka mereka melakukan ijtihad. Menerapkan illat yang digunakan oleh Rasulullah ﷺ dalam menghukumi yang ada di dalam nash-hashnya, Behingga mereka bisa memutuskan hukum di mana pun mereka menemuinya dengan tidak mengabaikan kesungguhan mereka dalam menyesuaikannya dengan apa yang menjadi tujuan Rasulullah ﷺ.

Sebab-Sebab Ikhtilaf Para Shahabat dan Gambarannya

Adakalanya terjadi ikhtilaf di antara para shahabat, misalnya adalah:

1. Sebagian shahabat mendengar sebuah hukum dalam suatu perkara atau fatwa, namun sebagian yang lain belum mendengarnya kemudian ia berijtihad dengan pendapatnya dalam perkara itu. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan:

a. Ijihadnya sesuai dengan hadits. Misalnya adalah apa yang dikabarkan dari lbnu Mas’ud bahwa ia ditanya tentang seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya. Padahal si suami belum memberikan mas kawin untuknya. Ibnu Mas’ud berkata, “Aku belum pernah melihat Rasulullah memutuskan perkara seperti ini.”

BACA JUGA:  Hukum Fikih yang Berkaitan dengan Kamar Mandi dan WC

Mereka pun berselisih dan mendesak Ibnu Mas’ud agar memutuskannya. Kemudian Ibnu Mas’ud berijtihad dengan pendapatnya dan memutuskan bahwa sang istri tetap berhak mendapatkan mas kawin. Tidak boleh kurang atau lebih. Iddah tetap berlaku padanya, serta ia berhak mendapat warisan.

Berdirilah Ma’qil bin Yasar dan bersaksi bahwa Rasulullah ﷺ pernah memutuskan masalah salah seorang wanita kaumnya sebagaimana yang diputuskan oleh Ibnu Mas’ud. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud sangat senang sekali dengan kegembiraan yang tidak pernah dirasakan semenjak masuk Islam.

b. Terjadi perdebatan di antara kedua shahabat. Lalu disebutkan sebuah hadits yang nampak lebih meyakinkan sesuai dengan perkara yang terjadi, kemudian menarik ijtihadnya dan beralih kepada hadits. Misalnya, di antara pendapat Abu Hurairah ialah, barang siapa bangun pagi dan mendapati dirinya junub, maka tidak boleh berpuasa. Hingga ia diberitahu oleh sebagian istri Nabi yang berbeda dengan pendapatnya, kemudian ia menarik pendapatnya.

c. Haditsnya sudah sampai, tapi ia tidak yakin kalau hadits itu tepat jika digunakan untuk menghukumi peristiwa tersebut. la tetap memegang ijtihadnya dan menyangkal hadits tersebut. Misalnya adalah Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bin Al-Khattab bahwa ia telah ditalak tiga. Rasulullah ﷺ tidak memberikan nafkah dan tempat tinggal. Maka kesaksiannya ini pun ditolak, dan Umar bin Al-Khattab berkata, “Kita tidak akan meninggalkan Kitabullah hanya karena perkataan seorang perempuan yang kita sendiri tidak tahu apakah ia jujur ataukah berdusta.”

Aisyah berkata, “Wahai Fatimah, bertakwalah kepada Allah!” yang dimaksud adalah perkataannya ‘Tidak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.’

d. Pada dasarnya haditsnya memang belum sampai. Contohnya adalah Ibnu Amru menyuruh para wanita yang akan mandi untuk mengurai gelungan rambut mereka. Mendengar hal itu, Aisyah berkata, “Mengherankan sekali Ibnu Amru ini, ia menyuruh wanita mengurai gelungan rambut mereka. Mengapa tidak sekalian ia menyuruh wanita untuk mencukur habis rambut mereka? Aku pernah mandi bersama Rasulullah ﷺ dalam satu bejana, dan aku tidak mengguyur kepalaku lebih dari tiga guyuran.”

2- Para shahabat melihat Rasulullah ﷺ melakukan suatu perbuatan, Sebagian shahabat menganggapnya sebagai ibadah dan sebagian lainnya menjadikannya sesuatu yang biasa.

Misalnya, para shahabat melihat Nabi ﷺ berjalan dengan cepat ketika thawaf. Maka, mayoritas shahabat berpendapat bahwa berjalan cepat ketika thawaf adalah sunnah. Adapun sahabat Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Rasulullah ﷺ karena adanya rintangan yang merintangi beliau, yaitu perkataan kaum musyrikin. “Mereka telah dihancurkan oleh demam Yatsrib” – maka itu bukanlah sunnah.

3. Ikhtilaf karena kebimbangan. Misalnya Rasulullah ﷺ berhaji dan orang-orang pun menyaksikan beliau. Sebagian shahabat berpendapat bahwa itu adalah haji tamattu. Sebagian lainnya mengatakan itu adalah qiran. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa itu adalah ifrad.

4. Ikhtilaf karena lalai dan lupa. Misalnya diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa, “Rasulullah ﷺ pergi umrah pada bulan Rajab.” Hal ini didengar oleh Aisyah, maka ia pun menganggapnya lupa.

5. Ikhtilaf dalam kekuatan hafalan. Contohnya Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi ﷺ”Sesungguhnya mayit disiksa dengan tangisan keluarganya atasnya.” Aisyah menyebut bahwa Ibnu Umar keliru dalam memahami hadits, “Bahwa Rasulullah melewati kuburan seorang perempuan Yahudi yang sedang ditangisi oleh keluarganya. Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya mereka menangisi perempuan ini, dan sesungguhnya perempuan ini disiksa di kuburnya.” Para shahabat mengira bahwa siksa kubur ada kaitannya dengan tangisan dan merupakan hukum umum bagi seluruh mayit.

BACA JUGA: 5 Sebab Diperbolehkan Menjamak Shalat

6. Ikhtilaf dalam illat (sebab) penetapan hukum, seperti berdiri ketika ada jenazah. Ada yang berkata bahwa hal itu dilakukan sebagai penghormatan malaikat sehingga berlaku umum untuk mukmin dan kafir. Ada juga yang mengatakan hal itu karena begitu menakutkannya kematian, maka umum untuk keduanya. Ada juga yang mengatakan bahwa suatu ketika ada jenazah Yahudi yang dibawa melewati Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah pun berdiri karena tidak suka jenazah itu lebih tinggi daripada kepala beliau, dan itu khusus untuk orang kafir.

7. Ikhtilaf dalam menggabungkan dua riwayat yang berbeda. Contohnya Rasulullah ﷺ melarang untuk menghadap kiblat ketika buang hajat. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ini berlaku umum dan tidak mansukh (dihapus-penj). Suatu ketika Jabir melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum beliau meninggal. Maka, mereka berpendapat bahwa larangan yang dahulu telah dihapus. Ibnu Umar juga pernah melihat beliau buang hajat membelakangi kiblat. Maka, dengan itu perkataan mereka tertolak, dan hal-hal yang semacam ini. []

Sumber: Shahih Fiqhu As-Sunnah (Shahih Fiqih Sunnah (Jilid 1)/ Penulis: Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim / Penerbit: Insan Kamil / Cetakan: Cet. 1: Nopember 2021 / Rabiul Akhir 1443 H

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: Join Group WA (WhatsApp Group)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam

Related posts
Kajian

5 Tanda Keimanan yang Benar

Kajian

Apakah Seorang Muslim Harus Mengikuti Suatu Mazhab Tertentu?

Kajian

Sebab-Sebab Perbedaan antara Ahlu Hadits dan Ahlu Ra'yi dalam soal Fiqih

Kajian

Bersuci dan Berbagai Rahasianya