1- Setiap pihak—dalam hal ini suami dan istri—harus berhias dengan :
– kesabaran,
– tabah menahan diri,
– dan tidak serampangan/tergesa-gesa bertindak ketika sedang marah dan emosi.
Terlebih seorang istri, hendaknya ia TIDAK MEMBANTAH/MENJAWAB seluruh kalimat yang dilemparkan suaminya kepadanya saat marah.
Demikian pula suami, ia harus bisa MENAHAN DIRI sehingga tidak mengucapkan kalimat yang menyakiti hati istrinya, atau melontarkan cacian dan celaan yang dapat menorehkan luka.
BACA JUGA: Nasihat untuk Kaum Muslimin dan Para Kepala Rumah Tangga Khususnya
2- Jika suami memang terpaksa harus keluar rumah sejenak, itu lebih baik hingga urat sarafnya yang tegang kembali tenang dan marahnya reda.
Urusan pun kembali berjalan pada posisinya yang normal.
3- Saat terjadi perselisihan dan kemarahan, seorang suami tidak boleh berpikir untuk bercerai.
Perceraian adalah JALAN KELUAR TERAKHIR yang diberikan oleh Islam saat hidup bersama sebagai sepasang suami istri tidak mungkin lagi diteruskan dan mustahil tetap dipertahankan.
Di sisi lain, dihimbau kepada istri untuk tidak BERMUDAH-MUDAHAN MEMINTA CERAI dari suami ketika ada percekcokan.
4- Seorang istri yang dijatuhi talak satu atau dua oleh suaminya, hendaknya TIDAK BERKEINGINAN KELUAR DARI RUMAH SUAMINYA lalu tinggal di rumah orang tua/keluarganya selama masih dalam masa iddah, walaupun suami yang menyuruhnya pergi/mengusirnya dalam keadaan marah.
5- Ketika seorang suami melihat kekurangan istrinya dalam menunaikan kewajibannya dan memenuhi kebutuhan suaminya, seharusnya suami menyadari bahwa istri yang sempurna tidak ada di dunia, hanya ada di akhirat saja.
Oleh karena itu, suami hendaklah melihat sisi-sisi positif yang ada pada istrinya dan memandang celah-celah kebaikan pada istrinya.
6- Seorang istri tidak boleh menceritakan masalah yang terjadi antara dia dan suaminya kepada ayahnya, ibunya, salah seorang kerabatnya, atau kerabat suami.
Hal ini akan memperluas/memperuncing masalah dan membuat keluarga istri tidak suka kepada si suami.
Bahkan, sampai pun jatuh keputusan akhir harus bercerai dengan sang suami, si istri tetap tidak boleh menceritakannya.
Maka dari itu, tidak sepantasnya seorang istri menyebarkan keburukan mantan suaminya, berbuat jelek kepadanya, dan membongkar aib/cacat/celanya sehingga menjatuhkan nama baiknya.
7- Tidak sepantasnya suami memberitakan kepada keluarganya atau kepada keluarga istrinya tentang apa yang terjadi antara dia dan istrinya.
Ia juga tidak boleh mengadukan istri kepada pihak keluarga istri.
BACA JUGA: Ukuran Keberhasilan Rumah Tangga
Problem yang ada adalah problemnya, dan dia sendiri yang harus menghadapinya. Tidak boleh ia melibatkan orang lain ke dalam masalahnya.
8- Ketika seorang istri melihat atau menangkap satu tanda dari suaminya yang menunjukkan si suami ingin berdamai atau baikan kembali, hendaknya istri saat itu juga dengan segera menyambut ajakan atau isyarat damai tersebut. Istri hendaknya bersyukur dengan baiknya tabiat suaminya.
Demikian pula, seorang suami seharusnya menerima upaya apa pun yang dilakukan oleh istri guna mencari keridhaannya, selama tidak melanggar keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, atau selama upaya tersebut merupakan hal yang ma’ruf (baik), bukan yang mungkar. Suami hendaknya juga mensyukuri upaya sang istri tersebut. []
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah hafizhahallah | Diringkas dari artikel berjudul : Saat Terjadi Pertikaian | Sumber: asysyariah.com
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: wa.me/6285860492560 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam20
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam