JOIN GRUP WHATSAPP: Pusat Studi Islam

Muslimah

Hukum Cairan yang Keluar dari Kemaluan Wanita

Hukum Cairan yang Keluar dari Kemaluan Wanita

Terkait cairan basah yang keluar dari kemaluan wanita, para ulama memiliki dua pendapat: (Al-Mughni (2/88), Al-Majmu’ (1/570)

Pendapat pertama, hukumnya najis.

Sebab berasal dari kemaluan dan tidak tercipta darinya seorang anak, dihukumi sama dengan madzi. Mereka berdalil dengan riwayat Zaid bin Khalid yang pernah bertanya kepada Utsman bin Affan . “Bagaimana pendapatmu tentang seorang suami yang menggauli istrinya, namun ia tidak mengeluarkan mani? la menjawab, “Hendaklah ia berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, dan hendaklah ia mencuci kemaluannya.” Utsman lantas berkata, “Aku mendengarnya dari Rasulullah.” (Sanadnya shahih. HR Al-Bukhari (292), Muslim (347). Namun hadits ini telah dimansuk).

BACA JUGA: Apakah Muntahan Manusia itu Najis?

Mereka juga berdalil dengan hadits Ubay bin Ka’aba, ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika seorang suami menggauli istrinya, namun dia tidak mengeluarkan mani?” Beliau menjawab:

يَغْسِلُ مَا مَسَّ الْمَرْأَةَ مِنْهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِي

“Hendaklah ia mencuci bagian yang menyentuh kemaluan wanita tersebut, kemudian berwudhu dan mengerjakan shalat.” (Sanadnya shahih. HR. Al-Bukhari (293), Muslim (346). Hadits ini mansukh) Mereka berpendapat bahwa perintah Nabi untuk mencuci bagian yang mengenai kemaluan wanita adalah bukti bahwa cairan vagina hukumnya najis.

Sanggahan pendapat di atas:

Dua hadits yang disebutkan di atas mansukh (Lihat Fath Al-Bari (1/473) dengan adanya hadits-hadits yang memerintahkan untuk mandi junub yang akan diterangkan pada penjelasan selanjutnya.

Masih ada kemungkinan perintah untuk mencuci kemaluan karena khawatir jika yang keluar dari kemaluannya atau istrinya itu madzi. Mereka juga berdalil atas kenajisannya karena keluar dari salah satu di antara dua lubang. Hal ini senada dengan kaidah fikih yang menyebutkan, “Semua yang keluar dari salah satu lubang adalah najis kecuali mani.”

Pendapat kedua, cairan yang keluar dari kemaluan wanita adalah suci.” (Jami Ahkam An-Nisa (1/68).

Dasar pijakan pendapat ini adalah:

a. Aisyah, pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah, setelah menggaulinya. Sebab seorang Nabi tidak pernah mimpi basah.” (Ini juga ada pada buku Al-Mughni (2/88) Nabi bersentuhan dengan cairan dari kemaluan wanita. Jika kita menghukumi kemaluan wanita najis, tentu mani wanita pun juga najis. Sebab mani keluar dari kemaluan wanita, maka dihukumi najis karena bercampur dengan cairan vagina.

b. Cairan yang keluar dari kemaluan adalah sesuatu yang jelas, dan banyak dialami oleh wanita. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga pernah ada pada wanita-wanita di masa Nabi Muhammad, seperti wanita-wanita di masa kita. Tidak didapati adanya perintah dari Nabi membersihkannya atau berwudhu karenanya. untuk

c. Sesungguhnya tempat keluarnya cairan tersebut berbeda dengan keluarnya air kencing yang najis.

d. Perkataan para ulama fikih, “Semua yang keluar dari dua lubang (kemaluan dan dubur) maka hukumnya najis, selain mani,” bukan berasal dari Rasulullah, dan juga kesepakatan kaum muslimin. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan ada beberapa cairan yang keluar dari dua jalan, yang tidak membatalkan wudhu, seperti darah istihadhah. Insya Allah ini akan dibahas pada penjelasan selanjutnya.

Aku (Abu Malik) berpendapat, “Pendapat yang paling kuat menurutk adalah jika cairan itu keluar dari wanita ketika dia sedang bercumbu denga suaminya atau ketika saat ingin berjima, atau semisalnya secara khusus, mal ini adalah madzi. Hukumnya najis dan wajib membersihkannya, karena mac termasuk pembatal wudhu.

Adapun jika cairan tersebut keluar dari kemaluan wanita pada sebagian besar waktunya, dan bertambah banyak ketika hamil, saat bekerja keras atau banyak berjalan-jalan, maka ini hukumnya suci. Kembali kepada hukum asalnya, sebab tidak ada dalil yang menerangkan tentang najisnya cairan ini, Wallahu a’lam.

BACA JUGA:Macam-macam Najis

Najis yang dimaafkan

Pendapat para ulama fikih berbeda-beda tentang jenis dan kadar najis yang mengenai pakaian, tempat atau badan yang hukumnya dimaafkan. (Al-figh Al-klamy wa Adillatuhu, (169-177)

Namun, ukuran atau kadar najis yang dimaafkan adalah kondisi darurat, dan sudah umum terjadi karena sulit terhindar darinya atau kesulitan dalam membersihkannya. []

Sumber: Shahih Fiqhu As-Sunnah (Shahih Fiqih Sunnah (Jilid 1)/ Penulis: Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim / Penerbit: Insan Kamil / Cetakan: Cet. 1: Nopember 2021 / Rabiul Akhir 1443 H

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: Join Group WA (WhatsApp Group)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam

Related posts
Muslimah

Wanita, Lemah Akal dan Agama?

Muslimah

Wanita Quraisy, Sebaik-baik Wanita yang Disebutkan oleh Rasulullah

Muslimah

Tata Cara Mandi Haid yang Diajarkan Nabi

Muslimah

Hukum Mengukir Alis