Fenomena tentang kritisi arah kiblat yang tidak pas ini sudah muncul sejak zaman dulu. Hanya saja di Indonesia ia menjadi satu topik yang baru muncul beberapa dekade silam.
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang lahir pada tahun 736H, telah memperingatkan kita dari fenomena ini. Beliau berkata di dalam salah satu karya beliau:
فعلم تأثير النجوم باطل محرم. والعمل بمقتضاه كالتقرب إلى النجوم وتقريب القرابين لها كفر وأما علم التسيير فإذا تعلم منه ما يحتاج إليه للإهتداء ومعرفة القبلة والطرق كان جائزاً عند الجمهور وما زاد عليه فلا حاجة إليه وهو يشغل عما هو أهم منه. وربما أدى التدقيق فيه إلى إساءة الظن بمحاريب المسلمين في أمصارهم كما وقع ذلك كثيراً من أهل هذا العلم قديماً وحديثاً وذلك يفضي إلى اعتقاد خطأ الصحابة والتابعين في صلاتهم في كثير من الأمصار وهو باطل.
“Maka ilmu ta’tsir nujum (meyakini bahwa bintang memiliki pengaruh-pent) adalah ilmu yang batil lagi haram. Sehingga melakukan konsekwensi ilmu ini berupa mendekatkan diri kepada bintang, memberikan persembahan kepadanya adalah kekufuran.
Adapun ilmu taisir (bintang hanya menjadi sarana untuk memudahkan-pent), jika engkau mempelajari apa yang dibutuhkan darinya dalam rangka untuk mencari arah, mengetahui kiblat dan mengetahui jalan, maka ini boleh menurut mayoritas para ulama.
BACA JUGA: Kisah Pemindahan Arah Kiblat
Ilmu falak, yang digunakan lebih dari itu, maka tidak ada kebutuhan dan termasuk sesuatu yang menyibukkan. Terkadang terlalu merinci memelajari hal itu bisa menggiring seseorang kepada perbuatan buruk sangka terhadap mihrab-mihrab kaum muslimin (menuduh kiblatnya tidak pas -pent) di negeri-negeri kaum muslimin.
Sebagaimana hal ini sering terjadi pada diri orang yang mempelajari ilmu falak sejak dulu hingga kini. Yang demikian menyebabkan munculnya keyakinan bahwa para sahabat telah keliru di dalam shalatnya demikian pula tabiin di berbagai negeri dan ini adalah kebatilan.” (Bayan Fadhlu Ilmis Salaf Alal Khalaf : 2 oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali).
Dan beberapa waktu yang lalu kami mendapatkan informasi via internet bahwa kiblat masjid Nabawi pun tidak persis alias tidak menghadap tepat ke arah kiblat.
Kritisi arah kiblat yang sudah terjadi di zaman Ibnu Rajab Al-Hanbali yang dilakukan oleh para ahli ilmu falak. Di hari ini sudah menyentuh Masjid Nabawi. Sebuah kekhawatiran yang dinyatakan oleh seorang Imam Sunnah di masa silam menjadi kenyataan di hari ini.
Lantas bagaimana sebenarnya aturan syariat berkenaan dengan masalah ini. Imam Ibnu Baz menyatakan :
إذا كان الانحراف يسيراً والجهة جهة الغرب جهة القبلة فلا يضر الانحراف اليسير يعفى عنه عند أهل العلم، لقول النبي – صلى الله عليه وسلم -: (ما بين المشرق والمغرب قبلة، يقوله في حق أهل المدينة ونحوهم، وهكذا في الشرق ما بين الجنوب والشمال قبلة, وهكذا في الغرب فما بين الجنوب والشمال قبلة فالمقصود أن الانحراف اليسير الميل اليسير الذي لا يخرجه عن الجهة هذا يعفى عنه، أما إذا انحرف إلى جهة أخرى هذا الذي لا يعفى عنه، أما الانحراف اليسير فيعفى عنه، وتوسيط الإمام هو السنة، أن يكون الإمام وسط هو السنة، فإذا كان المحراب غير متوسط, فالمشروع أن يوسطوه وينقلوه إلى وسط المسجد لا إلى جهة أبعد عن الوسط، فيكون الجماعة عنه على حد سواء، فإذا كان الصف ثلاثين يكون عن يمينه خمسة عشر وعن شماله خمسة عشر، متوسطة هذا هو السنة وهذا هو المشروع.
“Apabila melencengnya ini sedikit dan arahnya masih mengarah ke Barat, ke arah kiblat, maka ini tidak mengapa dan dimaafkan menurut para ahli ilmu, berdasarkan sabda nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam:
‘Apa yang ada di antara Timur dan Barat adalah kiblat’.
Beliau menyatakan hal ini untuk penduduk Madinah dan sekitarnya. Demikian pula yang kiblatnya mengarah ke Timur, maka antara Utara dan Selatan adalah kiblat. Demikian pula yang kiblatnya mengarah ke Barat (termasuk Indonesia -pent), maka antara Utara dan Selatan adalah kiblat.
Maknanya melenceng sedikit atau menyimpang sedikit dari arah kiblat yang tidak sampai keluar dari arah kiblat maka dimaafkan.
Adapun jika melencengnya sampai mengarah ke arah yang lain, maka ini tidak dimaafkan, adapun jika melencengnya sedikit maka dimaafkan.
BACA JUGA: Sejarah Kiblat di Awal Kemunculan Islam
Dan memosisikan imam di bagian tengah adalah sunnah. Jika mihrabnya (pengimaman) tidak center, maka yang disyariatkan adalah memindahkan mihrab di tengah masjid, bukan diposisikan yang jauh dari posisi center. Sehingga jamaah shalat itu sama dan seimbang (antara kiri dan kanan -pent)
Apabila jumlah jamaah tiga puluh orang, maka lima belas orang di sisi kanan imam, lima belas orang lagi di sisi kiri imam. Jadi jamaahnya center ini yang sunnah dan ini yang disyariatkan.” (Fatawa Syaikh Bin Baz no. 5887).
Saran kami kepadanya penanya jika kemiringan atau melencengnya arah kiblat hanya sedikit tidak sampai membuat jamah shalat menghadap ke arah lain (Utara atau Selatan), maka tidak perlu dirubah lokasi mimbar dan mihrabnya, apalagi jika sampai menyebabkan shaf nya menjadi tidak center.
Karena yang demikian dimaafkan insyaAllah berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang telah kami nukilkan di atas. Wallahu alam. []
SUMBER: BIMBINGAN ISLAM
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: Join Group WA (WhatsApp Group)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam