Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan peran rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi.
Dengan demikian, umat Islam tidak boleh hanya mengandalkan Alquran dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini adalah bahwa meyakini bahwa Alquran adalah sebuah buku dibuat, artinya Alquran itu adalah makhluk bukan kalamullah.
Al-Makmun percaya pada garis utama pemikiran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan baru dan berbahaya tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk menerima ide-ide Mu’tazilah demi menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, beliau dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan sesat tersebut.
BACA JUGA: Imam Ahmad Mencari Ilmu
Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk menerima ide-ide Muktazilah dianiaya dan dihukum dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling terkenal di Baghdad, dibawa ke hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia disiksa dan dipenjarakan.
Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah saat itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan jika disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan karena keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.
Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan akidah yang benar, yang demikian benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menunjukkan bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan akidah mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa.
Pada akhirnya, Imam Ahmad hidup lebih lama dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan, beliau pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terkenal itu ditulis.
Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki yang mengantarkan jenazah Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang wanita.”
BACA JUGA: Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibunya
Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahn fikih yang ia hasilkan, atau hanya sejumlah hadits yang telah ia susun, namun beliau juga memiliki peran penting dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
Selain itu, meskipun secara historis Madzhab Hanbali adalah madzhab termuda dalam empat madzhab yang ada, banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam yang sangat terpengaruh oleh Imam Ahmad dan pemikirannya, seperti: Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Katsir, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab. []
SUMBER: KISAH MUSLIM
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: wa.me/6285860492560 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam20
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam