
Ketahuilah bahwa pada zaman Rasulullah ﷺ yang mulia, fikih belum dibukukan. Pembahasan hukum-hukum pada hari itu juga tidak seperti pembahasan para ahli fikih yang menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat, dan adab-adab dengan mengerahkan seluruh kesungguhan mereka. Setiap hal terpisah satu sama lain beserta dalilnya. Mereka mengharuskan adanya penggambaran dari apa yang mereka buat dan saling membicarakan gambaran tersebut. Mereka juga membatasi apa yang perlu dibatasi, menahan apa yang perlu ditahan, dan semisalnya.
Seperti ketika Rasulullah ﷺ berwudhu. Para shahabat melihat wudhu beliau dan menirunya tanpa dijelaskan bahwa ini adalah rukun, dan ini adalah adabnya. Ketika Rasulullah ﷺ shalat, mereka melihat shalat beliau dan shalat sebagaimana yang mereka lihat dari Rasulullah ﷺ. Ketika Rasulullah ﷺ berhaji, maka orang-orang pun melihat haji beliau dan melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh beliau.
BACA JUGA: 6Kedzoliman Fir’aun kepada Nabi Musa dan Bani Israil
Beginilah keadaan Rasulullah ﷺ. Beliau tidak menjelaskan bahwa kewajiban wudhu ada enam atau empat. Beliau tidak mencontohkan untuk meminta seseorang agar berwudhu dengan tidak bermuwalah (wudhu tidak diputus dengan kegiatan lain) lalu menilai bahwa yang ini sah, dan yang ini tidak sah, kecuali apa yang Allah kehendaki. Jarang sekali para shahabat bertanya pada beliau tentang hal-hal semacam ini.
Terkadang Rasulullah ﷺ juga dimintai fatwa oleh orang-orang dalam berbagai peristiwa lalu beliau memberikan fatwa kepada mereka. Mereka mengajukan perkara-perkara pengadilan kepada Rasulullahﷺ lalu beliau memberikan keputusan dalam perkara tersebut. Beliau melihat orang-orang melakukan suatu kebaikan, maka beliau memujinya. Atau melihat mereka melakukan suatu kemungkaran, maka beliau mengingkari mereka.
Namun, tidak setiap yang difatwakan merupakan hasil dari permintaan fatwa kepada beliau dan beliau putuskan dalam suatu perkara atau beliau ingkari pelakunya dalam ranah publik. Namun, yang terjadi adalah seluruh shahabat melihat bahwa Allah memudahkan Rasulullah baik dalam ibadahnya, fatwa-fatwanya, dan putusan-putusannya.
BACA JUGA: Pujian Nabi untuk Umar bin Khattab
Kemudian para shahabat menghafal, memahami dan mengerti bahwa setiap hal pasti memiliki cara yang bisa diambil dari hal-hal yang berhubungan dengan hal tersebut. Sehingga sebagiannya bisa membawa pada hukum mubah, hukum istihbab (disukai), dan sebagiannya lagi menghapuskan hukum karena adanya tanda-tanda dan hal-hal terkait yang sudah mencukupi.
Patokan beramal mereka adalah perasaan hati yang tenang dan tentram. Tanpa adanya perhatian terhadap metode pengambilan dalil, dan para shahabat tetap seperti itu sampai akhir masa Rasulullah. []
Sumber: Shahih Fiqhu As-Sunnah (Shahih Fiqih Sunnah (Jilid 1)/ Penulis: Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim / Penerbit: Insan Kamil / Cetakan: Cet. 1: Nopember 2021 / Rabiul Akhir 1443 H
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: Join Group WA (WhatsApp Group)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam