
Pertanyaan: Asy-Syaikh yang mulia, bagaimana cara mengkompromikan antara hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abul Aswad ad-Du’ali bahwasanya Abu Dzar radiyallahu ‘anhu telah menceritakan kepadanya, dia berkata: “Aku pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan tidur beliau memakai pakaian yang putih, maka ketika aku mendatanginya dalam keadaan tidur, maka tiba-tiba beliau bangun, maka aku duduk di hadapannya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang mengucapkan laa ilaaha illaallah kemudian mati atas hal itu kecuali masuk surga.” Aku berkata: “walaupun berbuat zina, atau mencuri?” Beliau bersabda: “Walaupun berzina atau mencuri.” Aku berkata lagi: “Walaupun berzina atau mencuri?” Beliau bersabda: “Walaupun berzina atau mencuri.” Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berkata yang keempat: “Meskipun tidak disukai Abu Dzar!” maka keluarlah Abu Dzar dan berkata: “Meskipun tidak disukai Abu Dzar!” (Dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim).
Aku katakan: Bagaimanakah cara mengkompromikan hadits ini dengan apa yang kita saksikan dan kita dengar dari penganut firqah-firqah yang sesat, seperti Rafidhah dan Khawarij serta orang-orang munafik, dimana mereka mati di atas syahadat tauhid?
Jawaban: Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’la Rabb seluruh alam, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad, beserta para keluarga, dan sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga Hari Kiamat
BACA JUGA: Apa Maksud dari Pemahaman Berbuat Ihsan kepada Allah dan kepada Makhluk?
Hadits Abu Dzar radiyallahu ‘anhu sebagaimana engkau dengar menunjukkan dalil yang jelas atas orang yang berkata: laa ilaaha illaallah adalah benar-benar seorang mukmin. Tetapi dia terkalahkan oleh hawa nafsunya sehingga melakukan sebagian kemaksiatan atau sebagian dosa besar seperti mencuri dan lainnya.
Prinsip ahlus sunnah wal jama’ah adalah bahwa seorang mukmin jika melakukan dosa besar maka tempat kembalinya adalah surga. Namun sebelum masuk surga apakah disiksa atau tidak maka hal itu terserah kepada Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya dan jika Allah menghendaki Dia akan mengampuninya. Dalil atas hal itu firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ ..
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya….” (QS. an-Nisaa’: 116)
Sehingga semua pelaku maksiat walaupun besar selain kafir tidak menghalangi masuk surga. Karena akhir kesudahan mereka adalah surga, namun mungkin disiksa dengan perbuatannya dan mungkin diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masalahnya kembali kepada Allah. Adapun orang munafik dan ahli bid’ah yang dengan perbuatan bid’ahnya yang menjadikan mereka dikafirkan maka pada hakekatnya mereka tidak mengatakan kalimat loa ilaaha illaallah dalam hati mereka. Karena kemunafikan yang membawa kepada kekafiran akan menafikan keikhlasan, sedangkan ucapan laa ilaaha illaallah harus dilandasi dengan ikhlas
Adapun bahwasanya dia mengucapkan laa ilaaha illaallah sedangkan dia berkeyakinan bahwa tidak ada Rabb dan sesembahan atau berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang murtad setelah sepeninggal beliau atau berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar radiyallahu ‘anhu murtad setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang seperti hal itu dari bid’ah yang dikafirkan. Maka sebenarnya mereka tidak ikhlas didalam mengucapkan: laa ilaaha illaallah. Sehingga bid’ahnya mereka menafikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang bersaksi laa ilaaha illaallah atau barangsiapa yang mengatakan laa illaaha illaallah maka masuk surga.” Dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim.
Sehingga harus ikhlas dalam mengucapkan dua kalimat syahadat ini dan dengarkanlah firman Allah ketika berbicara tentang orang munafik:
… يُراءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً
“Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisaa’: 142)
Dan juga Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا {١٤٥}
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada ting-katan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. an-Nisaa’: 145)
Allah Subhanahu wa Ta’la berfirman tentang mereka
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ.
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah….” (QS. al-Munaafiquun: 1)
BACA JUGA: Apa Itu Hadits Qudsi?
Ini adalah persaksian dengan lisan mereka
… وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (QS. al-Munaafiquun: 1)
Yakni mereka berdusta dalam perkataan mereka: نَشْهَدُ إِنَّكَ الرسول الله
“Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Mereka menyebut Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersaksi bahwa risalah itu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hati mereka kosong dari apa yang mereka ucapkan.
(Liqaa’aat al-Baabil Maftuuh no. 1122) []
Sumber: Al-Fatawa Al-Muhimmah (Fatwa-fatwa Penting dalam Sehari-hari jilid 1) / Penulis: Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin / Penerbit: Pustaka as-Sunnah / Cetakan 2, Maret 2012
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: Join Group WA (WhatsApp Group)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam