
Air yang bercampur dengan najis terbagi menjadi dua macam, yaitu:
Pertama: Jika najis yang ada dalam air itu mengubah salah satu dari rasa, warna atau bau air tersebut, menurut kesepakatan ulama (ijma), air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci sama sekali. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulgin.
Kedua: Air tetap dalam status kemutlakannya jika ketiga sifat yang meliputi rasa, bau atau warna tidak mengalami perubahan. Hukum air semacam ini adalah suci dan menyucikan, baik jumlah air tersebut sedikit ataupun banyak.
Adapun yang menjadi landasan atas pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah ra.. Ia berkata, “Seorang Arab pedalaman berdiri lalu kencing dalam masjid. Dengan cepat para sahabat bangkit untuk menegurnya. Melihat hal itu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Biarkan dia! Sirami kencingnya dengan satu ember atau satu timba air! Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk mempersulit.”
BACA JUGA: Bahasan Thaharah dari Fiqih Sunnah: Air yang Bercampur dengan Benda Suci
Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata, Rasulullah ﷺ ditanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu dari sumur Budhaah?”
Beliau menjawab, “Air itu suci dan tidak ada sesuatu pun yang menyebabkannya menjadi najis.” (HR Ahmad, Syafi’i, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi)
Imam Tirmidzi mengklasifikasikan hadits ini sebagai hadits hasan. Imam Ahmad berkata, “Hadits sumur Budha’ah adalah sahih.” Hadits tersebut juga sahih dalam pandangan Yahya bin Mu’in dan Abu Muhammad bin Hazm.
Sebagaimana yang dijelaskan pada kedua hadits di atas, kita tahu bahwa air tersebut telah bercampur dengan benda-benda suci. Namun, air tersebut tidak berubah statusnya dan masih dalam kategori air mutlak.
Inilah pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan al-Bashri, Ibnu Musayyab, Ikrimah, Ibnu Abu Laila, ats-Isauri, Daud adh-Dhahiri, an-Nakha’i, Malik dan ulama yang lain. Al-Ghazali berkata, “Saya berharap, semoga mazhab Syafii dalam perkara air, sama pendapatnya seperti mazhab Maliki.”
Abdullah bin Umar ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ . bersabda,
“Jika air mencapai dua qulah, maka statusnya tidak mengandung najis.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai)
BACA JUGA: 3 Tingkatan Najis
Meskipun hadits ini mudhtharib (tidak jelas) dari segi sanad dan matan- nya. Ibnu Abdul Barr dalam kitab at-Tahunid berkata, “Hadits dua qulah yang menjadi pegangan Imam Syafii adalah mazhab yang lemah secara nalar, di samping haditsnya tidak kuat.” []
SUMBER: FIQIH SUNNAH / SAYYID SABIQ
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: Join Group WA (WhatsApp Group)
Instagram: https://www.instagram.com/pusatstudi.islam20/
YouTube: https://www.youtube.com/@pusatstudiislam
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/pusatstudiislam